Penyaluran Kredit Fintech Lending Mencapai Rp476,89 Triliun, Industri Optimistis di Tahun 2023
- Hingga Oktober 2022, industri fintech lending yang berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan tergabung dalam keanggotaan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah menyalurkan pinjaman kepada sekitar 93,39 juta pengguna.
Fintech
JAKARTA - Industri fintech lending optimis di tahun 2023 dengan penyaluran kredit yang mencapai Rp476,89 triliun per Oktober 2022.
Hingga Oktober 2022, industri fintech lending yang berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan tergabung dalam keanggotaan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah menyalurkan pinjaman kepada sekitar 93,39 juta pengguna.
Rekening peminjam (borrower) tercatat sebanyak 92,40 juta dengan rekening aktif sebanyak 18,71, sedangkan rekening pemberi pinjaman (lender) mencapai 980.370 dengan rekening aktif sebanyak 151.240.
- Waduh, Kekayaan Elon Musk Menguap Rp1,9 Kuadriliun dalam Setahun
- Gila, Harga Jersi Lionel Messi Tembus Rp120 Juta!
- Tips Liburan Hemat Tanpa Terjebak Harga Mahal Saat Peak Season
Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan bahwa capaian ini menjadi indikasi bahwa peran industri fintech lending sudah semakin mengakar di kalangan masyarakat.
Dengan capaian ini, industri pun semakin optimis untuk menghadapi tahun 2023 yang disebut-sebut akan menjadi masa suram bagi perekonomian global.
Menurut Sunu, tahun 2023 akan menjadi momen yang penuh dengan tantangan bagi semua pelaku bisnis karena ancaman resesi.
Namun, pemerintah dalam berbagai kesempatan telah menyatakan bahwa Indonesia akan lebih tahan banting dalam menghadapi ancaman ini sehingga pelaku bisnis, termasuk di industri fintech lending, tetap optimis untuk menghadapi tahun depan.
"Dengan business plan yang baik, kita akan lebih siap menyongsong tahun 2023 dan berkolaborasi lebih erat dengan lembaga jasa keuangan, termasuk dengan perbankan. Kita semua bergandeng tangan menghadapi tahun depan dengan lebih percaya diri," ujar Sunu dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 23 Desember 2022.
Kepercayaan diri industri pun dikatakan Sunu semakin diperkuat oleh penerbitan Peraturan OJK (POJK) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang telah mengubah posisi industri fintech lending yang awalnya diposisikan sebagai industri rintisan menjadi sejajar dengan lembaga jasa keuangan lainnya.
Oleh karena itu, Sunu pun menyampaikan bahwa pelaku bisnis di industri fintech lending harus lebih mengedepankan kepatuhan dan tata kelola yang baik (good corporate governance/GCG).
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta mengungkapkan bahwa diperlukan suatu mitigasi strategis dan kesiapan industri dalam menghadapi tantangan resesi global, sulitnya mendapatkan pendanaan, serta tren pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Meski demikian, Tris pun menyampaikan bahwa potensi industri fintech lending masih cukup berpotensi karena adanya proyeksi ekonomi digital yang cukup menjanjikan dalam beberapa waktu ke depan.
Proyeksi tersebut didasari oleh riset yang dilakukan oleh Google, Temasuk, serta Bain & Company pada tahun 2022.
- Bisnis Waralaba Berkembang Pesat, Kekayaan Djoko Susanto Naik Lebih dari Dua Kali Lipat
- Heboh Setoran Dana Bagi Hasil Migas Kecil, Menteri ESDM: Data Lifting Turun
- Buntut Tudingan Bupati, Kemenkeu Akui Sudah Bayar Dana Bagi Hasil Kabupaten Meranti Senilai Rp208 Miliar
"Di balik tantangan tersebut, ada potensi yang dapat dimanfaatkan industri fintech, termasuk peer-to-peer (P2P) lending, yakni ekonomi digital di Indonesia per 2022 mencapai US$77 miliar (Rp1,2 kuadriliun dalam asumsi kurs Rp15.594 perdolar Amerika Serikat/AS), dan diperkirakan memiliki prospek mencapai US$130 miliar (Rp2,02 kuadriliun), dan US$220-360 miliar (Rp3,43-Rp5,6 kuadriliun) pada 2030," ujar Tris.
Menurut Tris, ada enam tantangan yang harus dihadapi oleh industri fintech lending pada 2023, yaitu (1) manajemen risiko dan tata kelola, (2) keandalan sistem dan credit scoring, (3) pengembangan produk/model bisnis, (4) hadirnya Undang-undang (UU) perlindungan data pribadi, (5) eksplorasi ekosistem, serta (6) keamanan siber.