Perkara Restrukturisasi Utang, Industri Telekomunikasi Indonesia Digugat Pengusaha Tan Heng Lok Senilai Rp8,86 Miliar
- PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) atau PT INTI digugat oleh seorang pengusaha bernama Tan Heng Long senilai Rp8,86 miliar pada Jumat, 15 Juli 2022 terkait perjanjian, pengakuan dan restrukturisasi utang.
Nasional
JAKARTA - PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) atau PT INTI digugat oleh seorang pengusaha bernama Tan Heng Long senilai Rp8,86 miliar pada Jumat, 15 Juli 2022 terkait perjanjian, pengakuan dan restrukturisasi utang.
Gugatan tersebut tercatat dengan nomor perkara 401/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Dalam petitum gugatan, Tan Heng Lok meminta pengadilan untuk mengabulkan seluruh gugatan, dan menyatakan perjanjian pengakuan dan restrukturisasi utang antara PT INTI dan Tan Heng Lok nomor 1868/HK.03/010100/2020 tanggal 9 Juli 2020 batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya," isi petitum gugatan yang diakses pada laman resmi PN Jakarta Pusat pada Senin, 18 Juli 2022.
Tan Heng Lok meminta pengadilan untuk menyatakan tiga akta addendum atas perjanjian pengakuan restrukturisasi utang antara perusahaan INTI dengan penggugat batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
- Ternyata Harga Keekonomisan Pertamax dan Pertalite Beda Tipis, Segini Jika Tak Disubsidi!
- 10 Perusahaan Minyak Berpendapatan Terbesar di Dunia
- Harga Elpiji Nonsubsidi Naik, Ini Jurus Pertamina Cegah Warga Migrasi ke Gas Melon
Kemudian, penggugat meminta pengadilan untuk menyatakan akta gadai saham PT Sejahtera Bintang Textile Nomor 3, 14 Desember 2022 batal. Dan meminta pengadilan untuk menyatakan akta kuasa untuk menjual saham yang tidak dapat ditarik kembali batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Penggugat meminta pengadilan untuk mengembalikan seluruh uang yang telah dibayarkannya oleh penggungat senilai Rp8,86 miliar oleh penggugat kepada penggungat pada saat putusan a quo dibacakan.
Terakhir, penggugat meminta pengadilan untuk menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) senilai Rp50 juta per hari keterlambatan, tunduk pada putusan pengadilan, dan menghukum tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara.