Perlindungan Konsumen Jadi Alasan OJK Naikkan Modal Awal Fintech P2P Lending
JAKARTA – Keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menaikkan modal awal pelaku industri peer to peer lending dari Rp2,5 miliar menjadi Rp10 miliar sebagai upaya terhadap perlindungan konsumen. Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W. Budiawan menjelaskan setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa OJK akan menaikkan syarat modal awal bisnis fintech tersebut. […]
JAKARTA – Keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menaikkan modal awal pelaku industri peer to peer lending dari Rp2,5 miliar menjadi Rp10 miliar sebagai upaya terhadap perlindungan konsumen.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W. Budiawan menjelaskan setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa OJK akan menaikkan syarat modal awal bisnis fintech tersebut.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Pertama, kenaikan modal tersebut sebagai upaya OJK untuk meningkatkan perlindungan konsumen.
“Kami tidak ingin ada platform P2P lending yang berhenti beroperasi karena kehabisan dana untuk operasionalnya, sehingga membuat konsumen harus disibukkan dengan penyelesaian hak dan kewajibannya yang tidak sesuai dengan kesepakatan di awal. Kami mewajibkan platform yang berhenti beroperasi harus menyelesaikan kewajibannya dengan pihak lain,” kata Bambang kepada TrenAsia, Kamis 25 Februari 2021.
Kedua, modal Rp2,5 miliar yang diatur dalam ketentuan peraturan OJK (POJK) nomor 77/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, dianggap tidak mencukupi untuk menjalankan usaha P2P dengan layak. Menurutnya, biaya terbesar platform adalah sistem elektronik.
“Salah satu kekuatan utama mereka adalah sistem elektronik, khususnya untuk scoring system yang andal,” imbuhnya.
Kehabisan Dana
Ketiga, OJK menilai beberapa platform pinjaman online kehabisan dana untuk operasional karena modal yang disetor terlalu kecil. Sehingga, para pelaku industri tersebut mencari tambahan modal dari pemegang saham lama atau mencari pemegang saham baru.
“Kami ingin pelaku bisnis kredit online bisa fokus untuk mengembangkan bisnisnya tanpa harus memikirkan tambahan modal di tahap awal perkembangannya. Sehingga perlu ada modal disetor yang lebih besar,” ujarnya.
Sementara itu, kenaikan modal awal ini akan diatur dalam Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) pengganti POJK nomor 77/2016.
Bambang menuturkan saat ini pihaknya masih mendiskusikan perihal RPOJK tersebut dengan sejumlah pihak. Saat ini pembahasan itu sedang masuk pada tahap finalisasi.
“Kami sudah mendapatkan masukan dari berbagai stakeholders yakni dari publik, lembaga-lembaga lain, dan terutama pelaku industri P2P lending itu sendiri. Masukannya cukup banyak dan konstruktif,” imbuhnya.