Judi Online merupakan jenis perjudian yang dilakukan di Internet meliputi Poker Virtual, Kasino, dan Taruhan Olahraga dan lain sebagainya
Fintech

Pinjol dan Judol, 2 Tren yang Berdampak kepada Lonjakan Asuransi Kredit

  • Untuk menghadapi tantangan yang dihadapi sektor asuransi kredit, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK Nomor 20 Tahun 2023 (POJK 20/2023). Aturan ini diharapkan mampu menjadi solusi untuk menstabilkan kondisi industri.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Industri asuransi kredit di Indonesia menghadapi lonjakan klaim yang signifikan pada kuartal III-2024. Berdasarkan laporan terbaru, total nilai klaim mencapai Rp10,48 triliun, meningkat 44,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Lonjakan ini didorong oleh tingginya kasus gagal bayar yang berkaitan dengan pinjaman online (pinjol) dan perjudian online (judol).

Menurut data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), rasio premi dibandingkan klaim yang dibayarkan di sektor asuransi kredit terus memburuk. Pada September 2024, rasio tersebut mencapai 85,5%, naik drastis dari 71,8% pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, menjelaskan bahwa kondisi ini memberikan tekanan besar pada perusahaan asuransi. “Asuransi kredit menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. Kami terpaksa terus membayar klaim kredit, sementara pertumbuhan premi tidak signifikan. Akibatnya, biaya operasional melonjak tinggi,” ujar Budi dalam konferensi pers paparan kinerja kuartal III-2024 industri asuransi umum di Jakarta beberapa waktu lalu. 

Penyebab dan Dampak Tingginya Klaim

Budi menyoroti bahwa salah satu penyebab utama lonjakan klaim adalah tingginya gagal bayar akibat keterlibatan masyarakat dalam pinjol dan judol. Situasi ini semakin memperumit proses klaim karena banyak nasabah masuk daftar hitam di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK.

“Ketika seseorang terdaftar dalam SLIK OJK akibat pinjol atau judol, asuransi kredit turut merasakan dampaknya. Proses klaim menjadi lebih kompleks,” tambahnya.

Sementara itu, Wakil Ketua AAUI Bidang Statistik dan Riset, Trinita Situmeang, menjelaskan bahwa fungsi utama asuransi kredit adalah melindungi bank dari risiko gagal bayar nasabah, terutama yang berada dalam kolektabilitas rendah (kategori 4-5). Ia mencatat bahwa klaim yang dibayarkan saat ini sebagian besar berasal dari cadangan klaim yang sudah disiapkan sebelumnya.

“Klaim yang dibayarkan memakan waktu hingga sembilan bulan, sehingga tren ini perlu terus dipantau,” ungkap Trinita.

Tantangan dan Peluang dalam Industri Asuransi Kredit

Meski dihadapkan pada lonjakan klaim, industri asuransi kredit mencatat pertumbuhan premi positif. Dalam sembilan bulan pertama 2024, pendapatan premi mencapai Rp10,1 triliun, meningkat 21,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan kredit konsumtif, seperti kredit kepemilikan rumah (KPR).

Namun, tantangan besar tetap menghantui industri ini. Kasus pinjol dan judol menjadi ancaman serius yang memengaruhi profitabilitas. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga keuangan, dan sektor asuransi menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan ini.

“Dengan langkah strategis dan mitigasi risiko yang tepat, industri asuransi kredit masih memiliki peluang untuk berkembang dan berkontribusi pada perekonomian Indonesia,” jelas Budi.

POJK 20/2023: Solusi untuk Tantangan Asuransi Kredit

Untuk menghadapi tantangan yang dihadapi sektor asuransi kredit, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK Nomor 20 Tahun 2023 (POJK 20/2023). Aturan ini diharapkan mampu menjadi solusi untuk menstabilkan kondisi industri.

Ketua Umum Dewan Asuransi Indonesia (DAI), Yulius Bhayangkara, menyebutkan bahwa POJK 20/2023 menekankan pentingnya penyesuaian premi dengan risiko yang ditanggung. Premi harus cukup untuk menanggung risiko tanpa bersifat berlebihan atau diskriminatif.

“Ketentuan ini akan berdampak positif pada pengelolaan lini usaha asuransi kredit. Namun, di sisi lain, perusahaan yang tidak mampu memenuhi syarat likuiditas dan ekuitas minimum akan menghadapi tantangan besar,” kata Yulius dalam acara Ngopi Series 2024: Insurance Outlook.

Dampak POJK 20/2023 terhadap Perusahaan Asuransi

Yulius menegaskan bahwa perusahaan yang tidak mampu memenuhi rasio likuiditas minimal 150% dan ekuitas Rp250 miliar hingga 2028, atau Rp1 triliun setelahnya, tidak akan dapat memasarkan produk asuransi kredit.

“Perusahaan harus melakukan evaluasi mendalam untuk tetap bertahan di tengah perubahan signifikan yang diatur oleh POJK 20/2023,” tambahnya.

Regulasi ini juga mengharuskan perusahaan mempertimbangkan kemampuan debitur, kualitas portofolio kredit, serta tingkat risiko pada objek asuransi. Dengan penerapan strategi yang tepat, POJK 20/2023 diharapkan menjadi pijakan untuk memperkuat industri asuransi kredit di masa mendatang.