Ilustrasi fintech pinjaman online (pinjol) atau kredit online alias peer to peer (P2P) lending ilegal harus diwaspadai. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Pinjol Kembali Jadi Pemicu Bunuh Diri Walau Edukasi Sudah Gencar, Ini Penyebabnya

  • Pinjol ilegal memiliki dampak serius karena tidak memiliki aturan tegas terkait penagihan dan pengelolaan data pribadi. Hal ini berbeda dengan pinjaman legal yang sudah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Kasus bunuh diri yang diduga akibat tekanan dari pinjaman online (pinjol) kembali terjadi. Ironisnya, meski pemerintah dan berbagai pihak telah melakukan edukasi serta arbitrasi untuk meningkatkan literasi keuangan, kasus serupa terus berulang, bahkan di daerah perkotaan dekat Jakarta. 

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, mengungkapkan pandangannya terkait permasalahan ini.

Motif Ekonomi dan Masalah Struktur

Menurut Nailul Huda, motif utama masyarakat memanfaatkan layanan pinjol adalah kebutuhan pendanaan yang mendesak.

“Mereka butuh pembiayaan, tetapi perbankan sering kali tidak dapat diakses. Ini merupakan masalah struktural,” jelasnya saat ditemui seusai acara peluncuran Indonesia Digital Economy Outlook 2025 oleh CELIOS di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024. 

Kondisi ini membuat masyarakat mencari alternatif pinjaman, termasuk ke platform ilegal yang tidak diatur secara hukum, sehingga rawan menyebabkan masalah.

Pinjol ilegal memiliki dampak serius karena tidak memiliki aturan tegas terkait penagihan dan pengelolaan data pribadi. Hal ini berbeda dengan pinjaman legal yang sudah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Meski demikian, masyarakat sering kali kesulitan membedakan mana platform yang legal dan mana yang ilegal.

Credit Scoring sebagai Solusi

Salah satu solusi yang diusulkan adalah penerapan credit scoring yang lebih baik. Nailul Huda menilai bahwa credit scoring dapat menjadi kunci untuk memperbaiki ekosistem pinjaman daring.

“Jika credit scoring valid dan mampu memprediksi risiko gagal bayar, kasus seperti ini tidak akan terjadi pada platform legal,” ujarnya

Dengan credit scoring yang baik, penyedia pinjaman dapat menilai kelayakan calon peminjam secara akurat. “Jangan sampai seseorang yang hanya mampu membayar sedikit, diberikan limit yang besar. Ini berbahaya,” tegas Huda. 

Data OJK menunjukkan bahwa rata-rata pinjaman untuk usia di bawah 19 tahun mencapai Rp9 juta, yang mencerminkan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap sistem credit scoring.

Sisi Lain dari Dampak Positif Credit Scoring

Walaupun credit scoring memang dapat membantu memperkecil potensi kredit bermasalah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa credit scoring ini secara tidak langsung berdampak kepada pengajuan pinjaman kepada platform ilegal.

Pasalnya, credit scoring memang dapat membantu platform fintech P2P lending untuk menolak pengajuan pinjaman dari calon borrower yang tidak memiliki kapasitas untuk membayar. Akan tetapi, penolakan ini juga yang bisa menjadi pemicu bagi masyarakat unbankable tersebut untuk beralih ke platform ilegal. 

“Administrasinya lebih mudah (pinjol ilegal), dan mereka (masyarakat yang tidak lulus credit scoring) butuh pendanaan, akhirnya mereka dibiayai oleh (pinjol ilegal),” kata Huda. 

Oleh karena itu, regulasi dan penegakan hukum terhadap platform-platform ilegal pun tetap harus diperkuat seiring dengan edukasi kepada masyarakat yang terus berjalan. 

Regulasi dan Penegakan Hukum

Meski OJK telah mengatur berbagai aspek, seperti pembatasan akses data pribadi untuk platform legal, masalah pinjol ilegal tetap menjadi tantangan besar. Nailul Huda menyoroti pentingnya edukasi dan penegakan hukum sebagai langkah strategis.

“Edukasi harus terus ditingkatkan agar masyarakat dapat mengenali platform legal dan ilegal,” kata Huda. Selain itu, penegakan hukum juga harus dilakukan secara serius untuk menutup platform ilegal. Namun, upaya ini sering kali menemui kendala. “

Rendahnya Literasi Keuangan dan Digital

Salah satu akar masalah dari tingginya kasus pinjol adalah rendahnya literasi keuangan dan digital di masyarakat. Nailul Huda menyoroti bahwa banyak masyarakat yang tidak dapat memilah informasi dengan baik, sehingga terjebak dalam penawaran pinjaman dengan syarat mudah namun bunga yang mencekik.

“Informasi yang diberikan platform sering kali tidak sepenuhnya benar. Mereka menawarkan proses yang cepat dan mudah, tetapi tidak transparan mengenai biaya tambahan seperti provisi,” jelas Huda. Hal ini menyebabkan banyak orang akhirnya terjebak dalam utang yang sulit dilunasi.

Tingginya Risiko di Kalangan Anak Muda

Data OJK menunjukkan bahwa anak muda menjadi kelompok yang cukup rentan terhadap jeratan pinjol. Pinjaman rata-rata untuk kelompok usia 17-19 tahun mencapai angka yang cukup tinggi, meskipun mereka umumnya masih berada di bangku sekolah.

“Artinya, credit scoring untuk kelompok usia ini perlu diperbaiki. Jangan sampai mereka yang belum memiliki penghasilan tetap diberikan pinjaman besar,” kata Huda. Ia juga menekankan perlunya regulasi lebih ketat untuk melindungi kelompok rentan ini.

Kolaborasi untuk Mengatasi Masalah Pinjol

Untuk menyelesaikan masalah pinjol, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, regulator, dan masyarakat. Huda mengusulkan beberapa langkah konkret:

  1. Peningkatan Edukasi: Edukasi mengenai perbedaan platform legal dan ilegal harus digencarkan, baik melalui media massa maupun kampanye di komunitas lokal.
  2. Penegakan Hukum: Pemerintah harus memperkuat penegakan hukum terhadap pinjol ilegal, termasuk menutup akses mereka secara teknis.
  3. Peningkatan Akses Pembiayaan Formal: Pemerintah perlu menyediakan alternatif pembiayaan yang lebih mudah diakses oleh individu unbanked dan underbanked, sehingga mereka tidak lagi bergantung pada pinjol ilegal.
  4. Peningkatan Credit Scoring: Sistem credit scoring yang lebih akurat dan transparan harus dikembangkan untuk mengurangi risiko gagal bayar.