PKJS UI: Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Tembakau Mendesak Dilakukan
Struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) saat ini dinilai masih menghambat upaya penurunan jumlah prevalensi perokok di Indonesia.
Industri
JAKARTA – Struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) saat ini dinilai masih menghambat upaya penurunan jumlah prevalensi perokok di Indonesia.
Hal ini terbukti dari tingginya jumlah perokok di Indonesia. Bahkan, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Aryana Satrya mengatakan, target penurunan prevalensi perokok di Indonesia belum optimal. Menurutnya, kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok mesti dilakukan secara konsisten, signifikan, dan sinergis.
“Selain kenaikan CHT, ini harus diimbangi dengan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok dan penyederhanaan struktur tarif CHT,” ujar Aryana kepada media, beberapa waktu lalu.
Dalam skenario Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2021, lanjutnya, kenaikan tarif CHT ditentukan minimal 20%. Kebijakan ini diikuti dengan penyederhanaan struktur tarif CHT menjadi 3-5 strata.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Implementasinya diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dan mencapai target penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada 2024.
Namun, penerapan cukai rokok di Indonesia masih beragam karena banyaknya golongan tarif cukai. Aryana bilang, faktor ini yang menyebabkan harga rokok bervariasi di pasaran. Alhasil, peluang masyarakat untuk membeli rokok pun lebih mudah.
“Sehingga diperlukan penyederhanaan struktur tarif CHT,” ungkapnya.
Penghambat Penerimaan Negara
Aryana menyebut penelitian Prasetyo dan Adrison (2019), kebijakan cukai dengan struktur kompleks (multi tiers specific) yang mulai berlaku sejak 2009 hingga saat ini, telah menghambat penurunan konsumsi rokok sekaligus menyebabkan penerimaan negara menjadi tidak optimal.
“Oleh karena itu, dalam setiap kesempatan PKJS-UI selalu merekomendasikan kenaikan CHT dengan dibarengi penyederhanaan struktur tarif CHT. Ini harus dilakukan sedini mungkin,” katanya.
Ia berharap, penyederhanaan struktur tarif cukai dapat dijalankan sesuai reformasi kebijakan fiskal yang dituangkan dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Penyederhanaan struktur tarif cukai, kata dia, penting untuk mengurangi konsumsi rokok. Sebab, hal ini akan mengubah variasi harga rokok di pasaran.
“Berkurangnya variasi harga rokok akan membuat kemampuan beli rokok anak, remaja, dan masyarakat miskin semakin tidak terjangkau. Apabila itu terjadi, dampaknya terhadap pengendalian konsumsi akan semakin besar,” ujarnya.
Berdasarkan studi, kata Aryana, struktur tarif cukai dengan banyak layer juga memberikan insentif bagi perusahaan tembakau untuk memproduksi rokok dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Sebelumnya, dalam webinar Tobbaconomics- Asean Regional Round Table Joint bertajuk Tobbacco Tax Index and Cigarette Tax Scorecard, Peneliti dari University of Illinois di Chicago Profesor Frank J. Chaloupka juga menyampaikan kelemahan sistem tarif cukai kompleks sebagaimana yang berlaku di Indonesia.
Dengan sistem yang kompleks, katanya, industri berpeluang untuk membayar pajak lebih murah.
“Sistem tarif berjenjang atau berdasarkan strata, telah membuka peluang penghindaran pajak karena banyaknya golongan yang bergantung pada jumlah produksi,” ujar Chaloupka. Akhirnya, sistem tarif cukai yang diterapkan berdasarkan golongan, akan membuka peluang bagi industri untuk memainkan jumlah produksi demi menghindari pajak.