Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Hukum Bisnis

Putusan Inkracht, KLHK Segera Eksekusi JJP Soal Kebakaran Hutan

  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera melakukan eksekusi putusan pengadilan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) terhadap PT Jatim Jaya Perkasa (PT JPP) dalam kasus kebakaran hutan dan/atau lahan (Karhutla). Karhutla itu membakar 1.000 hektare lahan pada tahun 2015.
Hukum Bisnis
Khafidz Abdulah Budianto

Khafidz Abdulah Budianto

Author

JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera melakukan eksekusi putusan pengadilan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) terhadap PT Jatim Jaya Perkasa (PT JPP) dalam kasus kebakaran hutan dan/atau lahan (Karhutla). Karhutla itu membakar 1.000 hektare lahan pada tahun 2015. 

KHLK melaku eksekusi terhadap PT JPP berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 728 PK/PDT/2020 Jo. Putusan Mahkamah Agung No.1095 K/PDT/2018, Jo. Putusan PT DKI Jakarta No. 727/PDT/2016/PT/PT.DKI dan Jo. PN Jakarta Utara No. 108/Pdt.G/2015/PN. Jkt.Utr. Pihaknya menuntut agar PT JJP segera memenuhi kewajibannya sebagaimana dalam putusan.

Untuk melakukan eksekusi tersebut, KLHK telah melakukan langkah-langkah seperti permohonan surat keterangan inkracht kepada Ketua PN Jakarta Utara yang telah ditindaklanjuti dengan Surat Nomor: W10-U4/8915/HK.02/10/2021 tanggal 26 Oktober 2021. Langkah kedua yaitu mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PN Jakarta Utara dan menghadiri pelaksanaan pemberian teguran (aanmaning) oleh Ketua PN. 

Langkah ketiga yang dilakukan oleh KLHK yaitu mengajukan permohonan sita eksekusi kepada Ketua PN Jakarta Utara pada 22 Oktober 2022. Dalam prosesnya, PT JJP tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara patut dalam kurun waktu pemberian teguran antara 27 April 2022 sampai dengan terakhir tanggal 14 September 2022. Sebaliknya, PT JJP malah mengajukan upaya hukum PK yang kedua ke Mahkamah Agung pada 1 September 2022.

“PT JJP tidak mempunyai komitmen untuk melaksanakan isi putusan pengadilan yang telah inkracht secara sukarela, bahkan cenderung melakukan perlawanan-perlawanan hukum,” kata Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani dalam keterangannya, dikutip Selasa 16 Januari 2024. Hal itu terkait ketidakhadirannya dalam pemberian teguran oleh Ketua PN Jakarta Utara.

Sani mengatakan pihaknya telah Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup untuk melakukan percepatan pelaksanaan eksekusi berkoordinasi dengan Ketua PN Jakarta Utara dan instansi lain seperti Kementerian ATR/BPN untuk mendapatkan data dukung aset yang akan dilakukan sita eksekusi. 

Hal itu bakal dilakukan hingga PT JJP memenuhi semua kewajibannya dalam memenuhi putusan pengadilan yang telah inkracht. “Termasuk mengambil langkah-langkah untuk percepatan sita eksekusi,” tegasnya. Sani juga menegaskan KLHK tidak akan berhenti melawan kejahatan lingkungan dengan semua instrumen yang ada baik administratif, perdata maupun pidana.

“Semua putusan perdata yang berkeputusan tetap akan kami eksekusi, agar kerugian lingkungan dapat dipulihkan,” imbuhnya. Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup sekaligus Kuasa Hukum Menteri LHK, Jasmin Ragil Utomo mengatakan dari 19 kasus perkara perdata lingkungan hidup yang telah inkracht, 8 kasus telah menyetor ke kas negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sejumlah Rp351.973.592.810 sedang sisanya masih proses eksekusi. 

Dalam perkara perdata lingkungan tersebut, PN Jakarta Utara dalam putusan No.108/Pdt.G/2015/PN. Jkt.Utr menyatakan PT JJP membayar ganti rugi materiil secara tunai melalui rekening Kas Negara sebesar Rp7.196.188.475. PT JJP juga harus melakukan tindakan pemulihan terhadap lahan yang terbakar seluas 120 hektar dengan biaya sebesar Rp22.277.130.853 agar lahan dapat difungsikan kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Atas amar tersebut, PT JJP melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan banding bernomor 727/PDT/2016/PT/PT.DKI menghasilkan dua amar putusan. PT JJP dihukum membayar ganti rugi materiil sejumlah Rp491.025.500.000 yang terdiri dari ganti rugi materiil Rp119.888.500.000 dan tindakan pemulihan lingkungan sebesar Rp371.137.000.000. Amar kedua yaitu membayar uang paksa (dwangsom) sejumlah Rp25.000.000per hari atas keterlambatan dalam melaksanakan tindakan pemulihan lingkungan.

Tidak puas, PT JJP lantas mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, upaya tersebut ditolak oleh MA dalam putusan perkara No.1095 K/PDT/2018 tanggal 28 Juni 2018. Masih terus berjuang, PT JJP mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) yang berakhir dengan ditolak oleh MA berdasarkan putusan No. 728 PK/PDT/2020 tanggal 19 Oktober 2020. Dengan begitu, maka putusan terhadap PT JJP telah inkrach.