Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menggelar aksi damai didepan gedung DPR. Seluruh mata rantai dalam ekosistem pertembakauan, termasuk tenaga kerja, mendesak Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghapus pasal tembakau yang dinilai diskriminatif dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU kesehatan), yakni Pasal 154 sampai Pasal 158. Rabu 14 Juni 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Industri

Rencana Aturan Turunan UU Kesehatan Dinilai Memposisikan Tembakau Seolah Produk Terlarang

  • Meski tidak disetarakan lagi dengan narkotika, sejumlah wacana larangan terhadap produk tembakau di draft aturan turunan UU Kesehatan ini adalah bentuk baru untuk memposisikan produk tembakau seolah produk terlarang
Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Pelaku industri hasil tembakau meminta pemerintah menelaah secara menyeluruh dampaknya saat penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) terkait produk tembakau sebagai aturan turunan Undang-Undang (UU) Kesehatan.

Hal ini berkaitan dengan banyaknya wacana larangan terhadap produk tembakau, mulai dari larangan penjualan rokok secara eceran, larangan iklan produk tembakau di tempat penjualan, ruang publik, dan internet hingga dorongan untuk alih tanam yang terdapat dalam draft regulasi tersebut.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI), I Ketut Budhyman Mudara, mengatakan ketika UU Kesehatan masih berbentuk draft dan belum disahkan DPR, publik sempat dikagetkan dengan pasal yang menyetarakan produk tembakau dengan narkotika. Setelah mendapat masukan dari banyak pihak, pasal tersebut akhirnya dihapus.

Ketut melanjutkan hal yang sama kini terjadi saat penyusunan aturan turunannya meskipun dengan narasi yang berbeda. Meski tidak disetarakan lagi dengan narkotika, sejumlah wacana larangan terhadap produk tembakau di draft aturan turunan UU Kesehatan ini adalah bentuk baru untuk memposisikan produk tembakau seolah produk terlarang.  

“Padahal, di UU Kesehatan sebagai payung hukumnya tidak melarang penjualan dan promosi produk tembakau,” tegas Ketut.

Ia menambahkan di luar rezim kesehatan, sebenarnya pemerintah memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap eksistensi industri hasil tembakau. Sebab, industri ini memiliki kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara dan dalam penyerapan tenaga kerja.

“Ada 1,5 juta petani cengkih, ada pedagang rokok eceran, dan pekerja pabrik. Itu kan diperkirakan ada jutaan orang yang terlibat di industri ini,” terangnya.

Di kesempatan berbeda, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Timur, K. Mudi, menyatakan ketika membicarakan tentang harmonisasi regulasi, semestinya tidak boleh ada pertentangan antara bunyi peraturan dalam UU dengan peraturan pelaksananya, termasuk PP.

“Tugas kami belum berakhir karena isunya kan harmonisasi aturan ini. Artinya konsentrasi kita juga akan ke sana lagi. Supaya harmonisasi PP 109/2012 itu jangan dilakukan perubahan. Cukup dengan PP itu saja lah, tinggal diberlakukan secara efektif,” pungkasnya.