<p>Suasana ruas jalan ibukota saat pemberlakuan kembali PSBB di Jalan Sudirman, Jakarta, Senin, 14 September 2020. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan menerapkan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua atau PSBB pengetatan, yang berlaku selama dua pekan mulai Senin, 14 September 2020 hingga 27 September 2020. Penerapan PSBB itu mengacu pada Pergub Nomor 88 Tahun 2020 terkait perubahan Pergub Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

RI di Tepi Jurang Resesi, Tapi Bukan Akhir Segalanya

  • Meskipun Indonesia harus resesi pada kuartal tiga yang hampir habis dalam hitungan hari ini, bukan berarti perekonomian luluh lantak. Baik individu maupun pelaku usaha, sebaiknya tetap mengatur ulang manajemen keuangan agar siap menjalani resesi.

Industri
Sukirno

Sukirno

Author

JAKARTA – Tiga dari lima pedagang di Pasar Pucung, Depok, Jawa Barat tidak mengetahui arti resesi. Praktis, kelimanya juga tidak bisa membedakan antara resesi dengan krisis ekonomi.

Meski tak paham definisinya, para pedagang tahu bahwa saat ini ekonomi sedang ‘krisis’. Apa sebabnya? Karena corona, itu saja. Menariknya, mereka bisa membedakan antara kondisi ekonomi saat ini dengan dua krisis sebelumnya, yakni 2008 dan 1998.

“Kalau sekarang ‘susah’ karena yang beli sedikit, padahal harga enggak tinggi. Kalau dulu susah karena harga selangit,” kata Jay, pedagang ayam potong saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com pekan lalu.

Tidak mengherankan, definisi resesi tidak hanya abu-abu di tingkat akar rumput. Bahkan, komandan perekonomian Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saja kena semprot soal salah kaprah mengartikan resesi.

Ekonom senior, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri ngomel dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Senin, 31 Agustus 2020. Faisal protes taktala Airlangga menyebut Indonesia tidak masuk resesi meskipun kuartal III-2020 nanti akan tetap minus.

Menurut Airlangga, meskipun minus untuk kedua kali, ia yakin minusnya tak akan seberat kuartal II-2020 yang merosot 5,32%. Sehingga, Airlangga tak menyebutnya sebagai resesi, karena kontraksinya sudah lebih baik.

“Tapi kata Menko, itu enggak resesi. Menko saja, pemahaman resesinya nol besar. Kata Menko, kalau triwulan II (ekonomi) 5,3 persen minusnya, triwulan III minus 5 persen, itu enggak resesi, karena minusnya turun. Ngerti enggak pak? Komandan ekonominya enggak ngerti resesi apa,” kata Faisal.

Menurutnya, pemerintah sebaiknya tidak ngotot menampik kenyataan bahwa Indonesia pasti resesi pada kuartal ketiga nanti. Faisal sendiri memprediksi kontraksi pada kuartal tiga mencapai 3%.

Pedagang mengenakan face shield dan sarung tangan menata barang dagangannya di los sayuran Pasar Senen, Jakarta, 1 Juni 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Apa itu resesi? Bedanya dengan krisis ekonomi?

Secara umum, resesi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi terkontraksi atau minus selama dua kuartal berturut-turut atau tumbuh melambat dalam waktu lama. Hampir sembilan bulan menjadi hantu kesehatan dan ekonomi dunia, pandemi COVID-19 setidaknya telah memakan korban 45 negara masuk ke jurang resesi ekonomi.

Menjawab perbedaan yang dirasakan oleh para pedagang pasar, ekonom Indef Bhima Yudistira menjelaskan bahwa krisis tahun ini memang berbeda dengan dua krisis sebelumnya. Perbedaan utamanya adalah resesi tahun ini  tidak diiringi dengan inflasi atau kenaikan harga barang.

“Situasi saat ini berbeda dari tahun 1998 dan 2008 di mana saat krisis moneter 1998 inflasi sempat menyentuh 70 persen dan mengakibatkan kelangkaan barang kebutuhan pokok. Pada tahun 2008 juga terjadi inflasi 11 persen,” jelas Bhima.

Sebaliknya, krisis ekonomi kali ini justru menyebabkan deflasi atau penurunan harga barang secara umum. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi deflasi sebesar 0,1% pada Juli 2020.

Deflasi mengindikasikan adanya penurunan sisi permintaan yang cukup tajam dan membuat pelaku usaha juga ikut menurunkan harga barang produksinya.

Pedagang menunggu menunggu pembeli di Pasar Tekstil Cipadu, Tangerang, Banten, Kamis, 17 September 2020. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengatakan, penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total DKI Jakarta akan berdampak pada penyerapan produksi tekstil hulu maupun hilir dan berpotensi kehilangan pendapatan US$ 3 miliar per bulan. Foto:Ismail Pohan/TrenAsia

Prediksi Kontraksi

Hampir pastinya resesi pada kuartal tiga nanti, sejumlah pihak ramai-ramai merilis prediksi.  Pemerintah sendiri memproyeksikan untuk kuartal III-2020 ekonomi RI berada di kisaran 0% hingga -2,1%. Lalu di kuartal IV-2020 berada dalam rentang 0,4% hingga 3,1%. Sedangkan untuk 2020 secara keseluruhan diprediksi dalam rentang -1,1% sampai 0,2%.

Bahkan, Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR justru memperkirakan kontraksi yang jauh lebih dalam. “Pada kuartal III-2020 saya memperkirakan ekonomi kita memasuki resesi dengan pertumbuhan PDB dalam rentang negatif 3,6 persen sampai minus 2,9 persen,” sebut Said.

Tidak hanya diamini oleh segelintir orang, hampir semua ekonom dan lembaga keuangan baik di dalam maupun luar negeri kompak menyatakan Indonesia hampir pasti masuk dalam jurang resesi, senasib dengan puluhan negara lainnya di dunia.

Tahun ini, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia berada di level 0%. Sedangkan pada 2021 laju pertumbuhan berada di kisaran 4,8%.

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) ikut memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh minus 0,3% pada 2020, sementara 2021 pertumbuhan diperkirakan melesat hingga 6,1%.

Selain itu, Asian Development Bank (ADB) juga mematok target ekonomi Indonesia pada tahun ini minus 1%, kemudian pada 2021 mampu tumbuh 5,3%. Selanjutnya, The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memproyeksikan ekonomi Indonesia berkisar minus 2,6% hingga 5,2% pada 2021.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani saat hadir pada Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 2 September 2020. Raker tersebut membahas asumsi dasar Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Tapi apakah resesi memang seburuk itu?

Sri Mulyani menyebut resesi tidak bisa serta merta diartikan sebagai kondisi yang sangat buruk. Sebab, pemerintah masih dapat mengupayakan agar kontraksi mengecil dan bisa pulih di bidang konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan ekspor.

“Krisis akibat pandemi ini jangan membuat patah semangat. Namun harus dimanfaatkan untuk mengakselerasi reformasi di berbagai bidang, mulai dari kesehatan hingga pendidikan,” kata dia.

Sri Mulyani juga meminta pemerintah agar jangan terlena seperti Argentina yang secara terus menurus hampir 100 tahun mengalami krisis akibat kebijakan yang tidak tepat dari pemerintahannya.

“Mereka tenggelam dalam krisis dan akhirnya berlarut-larut bisa satu tahun, dua tahun, satu dekade, bahkan bisa puluhan dekade. Saya melihat negara-negara seperti itu mereka dari krisis tidak bisa lewat dari krisis terus makin tenggelam makin tenggelam makin dalam,” ungkapnya.

Sepakat dengan Sri Mulyani, Said menyatakan sebaiknya pemerintah dan masyarakat jangan panik dan terjebak dalam narasi resesi yang terkesan negatif. Pemerintah harus tetap meningkatkan kemampuan tes, pelacakan, isolasi, perawatan, serta mempersiapkan vaksin hingga awal 2021.

“Kita juga perlu fokus optimalisasi serapan program belanja pembangunan 2020 ini. Kita harus sepaham bahwa belanja pemerintah adalah satu-satunya kontributor yang masih positif dalam menopang pertumbuhan PDB kita, selain konsumsi rumah tangga, PMTB, serta ekspor dan impor,” tambah Said.

Menurut Said, beberapa sektor potential winner seperti sektor primer pertanian, perkebunan, kelautan, dan industri turunannya butuh terus digenjot. Memperbaiki kinerja ekspor juga perlu ditingkatkan, terutama sektor pangan, industri alat-alat kesehatan, dan sektor-sektor lainnya yang potensial. 

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto / Facebook @PerekonomianRI

Jurus Pemerintah

Untuk mempercepat pemulihan,  Airlangga Hartarto menjelaskan pemerintah kini tengah mengatur tujuh strategi untuk mempercepat realisasi anggaran di sejumlah pos strategis.

Sebut saja realisasi anggaran penanganan COVID-19, program-program di kementerian/lembaga (K/L), dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).

“Akselarasi realisasi belanja program-program strategis ini bertujuan agar ekonomi Indonesia tahun ini tumbuh positif,” kata Airlangga dalam Rapat Koordinasi Tingkat Menteri (RKTM), Jumat, 21 Agustus 2020.

Dalam rapat tersebut, Airlangga menjelaskan ketujuh strategi pemerintah dalam upaya akselarasi belanja tersebut yaitu pertama pinjaman PEN daerah diatur dalam Peraturan menteri Keuangan (PMK) Nomor 105 Tahun 2020.

Kedua, adanya suntikan dana insentif daerah (DID) untuk program PEN. Ketiga, program padat karya lewat peremajaan sawit rakyat (PSR). Keempat, pengembangan desa digital dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) digital.

Kelima, pemerintah bakal menambah kuota anggaran Program Kartu Prakerja. Keenam, menggalakkan gerakan belanja di pasar rakyat. Ketujuh, program padat karya dalam pembangunan proyek strategis nasional (PSN).

Ketujuh strategi di atas masih ditambah dengan sejumlah program besutan K/L juga telah seperti program bangga buatan Indonesia, program beli karet untuk aspal 2020-2021.

Kemudian ada program beli bahan baku industri kecil dan menengah, program beli (diskon) produk UMKM, program beli produk rakyat lewat Pegadaian, dan program padat karya penyangga wisata.

Per 14 Agustus 2020, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis serapan anggaran sejumlah program bantaun sosial. Tercatat,  program keluarga harapan (PKH) merupakan program dengan realisasi anggaran tertinggi mencapai Rp26,59 triliun atau 71% dari pagu Rp37,4 triliun.

Artinya, realisasi anggaran PKH telah disalurkan kepada 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

Awak Media mengambil gambar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jum’at, 17 Juli 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Harapan Saat Krisis

Jangan salah, situasi seperti ini justru merupakan momentum tepat berinvestasi. Salah satu sektor yang masih cukup menjanjikan untuk dijadikan investasi saat resesi menimpa adalah sektor konsumsi.

Saham-saham yang berasal dari perusahaan consumer goods yang tidak berorientasi pada ekspor cenderung lebih stabil meski di tengah resesi.

Selain itu, logam mulia seperti emas juga tidak kalah berkilau. Buktinya, tren harga emas global terus memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan investor yang berhasil untung di tengah krisis ekonomi 1998 silam.

Namun, ekspansi bisnis bukanlah pilihan yang tepat saat ini. Jika salah perhitungan, ekspansi justru dapat menyeret bisnis dalam kebangkrutan. Lebih baik, atur tata kelola keuangan agar tetap sehat dalam dapat berlangsung selama mungkin sampai krisis berakhir.

Menurut founder JETE, Jhonny Thio Doran, pandemi COVID-19 merupakan salah satu tahapan yang dilalui perusahaan untuk tumbuh lebih besar. “Saya yakin kita semua dihadapi masalah untuk bisa tumbuh menjadi lebih besar, yang artinya naik kelas,” ujarnya.

Apalagi sebagai seorang pemimpin, para pengusaha harus dapat menjadi agen perubahan sehingga perusahaan dapat tetap bertahan, sekaligus menjaga keutuhan tim dalam melewati tantangan saat ini.

“Karena perusahaan dengan impian yang besar itu hanya bisa dicapai oleh tim besar yang solid dan kompak,” imbuhnya.

Ilustrasi mengelola keuangan. / Id.pinterest.com

Atur Ulang Arus Kas

Setali tiga uang, perencana keuangan, Andi Nugroho mengatakan langkah pertama untuk memastikan usaha tetap berjalan sehat adalah dengan melakukan evaluasi pada pos pengeluaran baik operasional maupun non operasional. Salah satunya adalah pada pos pengeluaran untuk gaji pegawai.

Menurutnya, jika keuangan sudah tidak mampu untuk membayar gaji selama beberapa bulan, perlu dilakukan evaluasi, sehingga keuangan bisnisnya juga bisa tetap terjaga dengan baik.

Pelaku usaha bisa mempertimbangkan menjual aset yang dimiliki ataupun menggadai aset untuk mendapatkan suntikan modal tambahan. Jika tidak mungkin, mau tidak mau perusahaan harus melakukan efisiensi.

Salah satunya dengan memotong berapa persen gaji para karyawannya. Atau jika tidak ada pilihan lain, bisa merumahkan atau melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada karyawannya.

Jadi, meskipun Indonesia harus resesi pada kuartal tiga yang hampir habis dalam hitungan hari ini, bukan berarti perekonomian luluh lantak. Baik individu maupun pelaku usaha, sebaiknya tetap mengatur ulang manajemen keuangan agar siap menjalani resesi.

“Kondisi ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, tapi negara lain juga mengalami ekonomi negatif. Sehingga resesi tidak bisa terhindarkan, masyarakat harus siap-siap,” kata Direktur Program Indef Esther Sri Astuti. (SKO)

Keputusan PM India melakukan lockdown secara khusus telah merugikan jutaan rakyat miskin India, membuat banyak orang kelaparan dan memaksa puluhan ribu buruh migran yang menganggur berjalan ratusan kilometer dari kota ke desa-desa asal mereka. / Reuters

Berikut daftar penurunan ekonomi negara-negara yang sudah masuk jurang resesi:

  1. Afrika Selatan (0%)
  2. Albania (-3%)
  3. Angola (-2%)
  4. Arab Saudi (-1%)
  5. Argentina (-5%)
  6. Austria (-13%)
  7. Bahrain (-1%)
  8. Barbados (0%)
  9. Belanda (-9%)
  10. Belgia (-14%)
  11. Belize (-4%)
  12. Brasil (-11,4%)
  13. Ekuador (-1%)
  14. Filipina (-16%)
  15. Finlandia (-5%)
  16. Guyana Khatulistiwa (-6%)
  17. Hong Kong (-9%)
  18. Inggris (-22%)
  19. Iran (-10%)
  20. Italia (-17%)
  21. Jepang (-10%)
  22. Jerman (-12%)
  23. Kanada (-13%)
  24. Latvia (-10%)
  25. Lebanon (-5%)
  26. Lebanon (-5%)
  27. Lituania (-4%)
  28. Makau (-68%)
  29. Meksiko (-19%)
  30. Mongolia (-10%)
  31. Palestina (-3%)
  32. Peru (-30%)
  33. Portugal (-16%)
  34. Republik Ceska (-11%)
  35. Singapura (-13%)
  36. Slowakia (-12%)
  37. Spanyol (-22%)
  38. Sudan (-2%)
  39. Swiss (-9%)
  40. Thailand (-12%)
  41. Tunisia (-22%)
  42. Ukraina (-11%)
  43. Venezuela (-27%)
  44. Yunani (-15,2%)
  45. Selandia Baru (-12,4%)