Robohnya Mahkamah Kami
- Suap terhadap tiga hakim yang membebaskan Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan pacarnya, mengantarkan penyidik Kejaksaan Agung ke perkara yang lebih besar: seorang mantan pejabat di Mahkamah Agung (MA) sebagai otak pengatur perkara. Bobroknya MA semakin klop dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengebiri Komisi Yudisial.
Kolom
Rasa kecewa masyarakat terhadap MA yang kerap menjatuhkan vonis ringan atau membebaskan terdakwa akhirnya terobati. Kamis pekan lalu (24 Oktober 2024), Kejaksaan Agung meringkus seorang mantan pejabat di MA, Zarof Ricar, yang diduga terlibat kasus suap tiga hakim PN Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur.
Sekadar mengingatkan, Ronald dajukan ke meja hijau dengan tuduhan menganiaya pacarnya, Dini Sera Afrianti, hingga meninggal dunia. Dari kediaman Zarof di kawasan Senayan, Jakarta, dan Bali, Kejaksaan Agung menyita uang senilai Rp 920 miliar dan emas batangan seberat 51 kg. Uang ratusan miliar itu diduga terkait pemufakatan jahat untuk mengondisikan putusan kasasi Ronald Tannur.
Terungkapnya kasus itu merupakan pengembangan dari penyidikan kasus dugaan suap terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memberikan vonis bebas untuk Ronald Tannur. Selain dugaan menyuap tiga hakim dalam perkara pembunuhan Dini Sera, pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat, juga diduga berupaya melakukan suap kepada hakim MA pada tingkat kasasi melalui Zarof.
Diduga uang dan emas yang diamankan tersebut merupakan hasil pengurusan perkara selama dia bertugas di MA. Termasuk, untuk mengurus perkara Kasasi Ronald Tannur. Zarof, terakhir tercatat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Latihan Hukum dan Peradilan MA.
Selama karirnya Zarof juga tercatat pernah menjabat sebagai Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA. Kemudian, juga Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA.
Pria kelahiran Sumenep, Madura, 62 tahun mengaku uang dan emas yang disita di kediamannya dikumpulkan sejak 2012-2022.
Sudah Tiga Pejabat MA dan Dua Hakim Agung Dipenjara
Kisah penangkapan Zarof kian memperburuk citra lembaga berjuluk benteng peradilan terakhir. Sebelum Zarof, lima petinggi MA juga terciduk akibat perbutan sejenis. Mereka adalah Nurhadi (mantan Sekretaris MA), Sudradjad Dimyati (hakim agung), Djodi Suratman (staf Pendidikan dan Latihan) MA, Hasbi Hasan (sekretaris MA) serta Gazalba Saleh (hakim agung).
Djodi Suratman dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta pada tahun 2013. Ia menerima uang suap sebesar Rp150 juta dari Mario Cornelio Bernardo. Suap ini diberikan untuk mempengaruhi putusan kasasi dalam kasus penipuan yang melibatkan Hutama Wujaya Ongowarsito.
Nurhadi pada Januari 2022 dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan oleh MA. Ia dinyatakan terbukti menerima suap datri Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto sebesar Rp35,726 miliar.
Tak lama berselang, Desember 2023, Sudrajad Dimyati menjadi hakim agung pertama yang dihukum pengadilan. MA menghukumnya 7 tahun penjara atas kasus suap Rp2,2 miliar dalam pengurusan kasasi kepailitan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.
Kasus KSP Intidana juga menyeret Hasan Hasbi. Sekretaris MA pengganti Nurhadi itu Juni silam dijatuhi hukuman 6 tahun penjara. Sama dengan pendahulunya, Hasan dinyatakan terbukti menerima suap Rp3 miliar oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam pengurusan perkara yang ditangani Sudrajad Dimyati.
Suap bagi Hasan ditujukan untuk memenangkan debitur KSP Intidana Heryanto Tanaka. Hanya berselang sembilan hari sebelum penangkapan Zarof, Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Ia dinyatakan terbukti menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Hakim menyatakan Gazalba terbukti menerima gratifikasi Rp 500 juta dari Jawahirul Fuad terkait pengurusan kasasi. Hakim juga menyatakan Gazalba menerima bagian dari Rp 37 miliar yang diberikan pengacara Jaffar Abdul Gaffar, Neshawaty, terkait pengurusan PK Jaffar.
Penangkapan Zarof diawali dengan peringkusan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya oleh tim bungan Kejaksaan Agung di Surabaya pada Rabu, 23 Oktober 2024. Ketiganya merupakan hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur. Mereka adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
Dalam penangkapan itu, tim kejaksaan juga menyita sejumlah uang dalam mata uang rupiah dan denominasi asing senilai Rp20,38 miliar.
Vonis bebas bagi Ronald Tannur sendiri telah dibatalkan oleh MA pada tanggal 22 Oktober 2024. Pria 27 tahun itu juga telah ditangkap oleh Tim Intelijen Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Tim Jaksa Eksekutor Kejaksaan Negeri Surabaya pada Minggu petang, 27 Oktober 2024. Jaksa menangkap Ronald di rumahnya di Pakuwon City Virginia Regency Kota Surabaya.
Akan halnya penangkapan Zarof seolah mengkonfirmasi kecurigaan publik atas putusan-putusan MA yang selama ini terkesan berpihak ke terdakwa. Paling tidak itu bisa dilihat dalam putusan-putusan tehadap perkara korupsi.
Ini terbukti pada survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dan ICW pada Oktober 2018. Survei itu menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tertinggi kurang dari 70%.
Vonis ringan memang sudah menjadi tren di MA. Catatan ICW sepanjang tahun 2018 rata-rata vonis untuk terdakwa korupsi hanya menyentuh angka 2 tahun 5 bulan penjara. Kedua, untuk tingkat Peninjauan Kembali (PK) pun sama, sejak tahun 2007 sampai 2018 setidaknya 101 narapidana korupsi telah dibebaskan oleh MA.
Berbagai rentetan vonis ringan kepada pelaku korupsi di tingkat MA sebenarnya tidak bisa serta merta dipisahkan dari faktor pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar pada tahun 2018. ICW mencatat setidaknya tujuh terpidana telah diganjar vonis ringan pada tingkat PK dan lima terdakwa divonis lebih rendah pada tingkat kasasi pasca Artidjo purna tugas.
Sejak Artidjo pensiun, para terpidana korupsi berbondong-bondong mencoba peruntungan dengan mengajukan PK. Terhitung untuk saat itu setidaknya 23 terpidana kasus korupsi yang ditangani KPK sedang berproses pada tingkat PK di MA. Kondisi ini diperparah lagi dengan pelemahan KPK di tahun 2019.
Benar saja, satu tahun kemudian ICW menyatakan bahwa tren vonis kasus korupsi di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan terhadap terdakwa yang divonis bebas atau lepas sepanjang 2019 dibanding periode sebelumnya.
Sepanjang tahun 2019 ada 54 terdakwa bebas atau lepas. Meningkat dari tahun 2018 ada 27 terdakwa, dan 2017 ada 35 terdakwa.
Tahun 2005 Ruang Kerja Zarof Digeledah KPK
Pengakuan Zarof soal uang dan emas yang disita Kejaksaan Agung dikumpulkan selama periode 2012-2022 juga layak dipertanyakan. Sebab, tahun 2005 saat ia menjabat Kapala Sub Direktorat Kasasi dan PK ruangannya pernah digeledah KPK.
Penggeledahan itu menemukan secarik memo yang diduga terkait pengutrusan perkara korupsi dana reboisasi yang melibatkan Probosutedjo senilai lebih dari Rp100 miliar. Adik tiri mantan Presiden Soeharto itu divonis 4 tahun penjara pada April 2003 atas kasus korupsi DRHTI senilai Rp 100,931 miliar.
Dalam pengadilan banding pada 29 Desember 2003, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta meringankan hukuman menjadi 2 tahun penjara. Pada Desember 2005, MA menguatkan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Banyaknya putusan yang mencederai rasa keadilan masyarakat ini sejatinya pernah dicegah oleh penyusun UU dengan pembentukan Komisi Yudisial (KY) pada 13 Agustus 2004. KY berwenang memantau dan mengawasi perilaku hakim, juga berwenang menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Selanjutnya MK berwenang melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup dan memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Rupanya MA tak terima dengan wewenang KY. MA lalu menggugat KY ke Mahkamah Kontitusi. Hasilnya MK menyatakan KY tidak berwenang dan tidak memiliki kekuatan hukum untuk melakukan pengawasan terhadap hakim.
Pasca putusan itu, KY praktis hanya bisa terlibat dalam proses seleksi hakim dan memberi rekomendasi yang tidak mengikat atas dugaan pelanggraran kode etik oleh hakim. Begitulah, negara kita di masa lalu sebenarnya sudah banyak melangkah, tapi kemudian dimentahkan lagi.
Dulu, kita sepakat koruptor tidak boleh lagi duduk di parlemen. Tapi kesepakatan itu kemudian dibatalkan oleh MA dengan alasan bertentangan dengan UU Pemilu. Dulu, kita sepakat mengharamkan politik dinasti. Kesepakatan ini dibatalkan oleh MK dengan alasan melanggar HAM.
Dulu, kita sepakat membentuk KYkpmisi Yudisial demi penegakan hukum yang bersih dan berwibawa, kemudian juga dibatalkan oleh MK. MK memang sangat penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Tapi apa jadinya jika institusi yang sangat powerful diisi oleh hakim-hakim yang tak memiliki jiwa negarawan: Robohlah mahkamah kami.