Ilustrasi cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT). Grafis: Deva Satria/TrenAsia
Nasional

RUU Kesehatan Sejajarkan Tembakau Dengan Narkoba, Pakar Hukum: Bisa Picu Masalah Besar

  • JAKARTA – Penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law harus mengedepankan tata cara penyusunan produk hukum yang baik agar tidak memunculkan masalah baru. Sebab, dalam draf rancangan beleid tersebut ada sejumlah ketentuan yang berpotensi memunculkan masalah yang lebih besar.

Nasional

Redaksi

Redaksi

Author

JAKARTA – Penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law harus mengedepankan tata cara penyusunan produk hukum yang baik agar tidak memunculkan masalah baru. Sebab, dalam draf rancangan beleid tersebut ada sejumlah ketentuan yang berpotensi memunculkan masalah yang lebih besar.

Salah satunya ihwal disetarakannya produk-produk legal seperti rokok, hasil pengolahan tembakau lainnya, dan minuman beralkohol dengan narkotika dan psikotropika dalam satu kelompok zat adiktif. Padahal saat ini, narkotika dan psikotropika telah diatur oleh undang-undang tersendiri.

Ketentuan tersebut termaktub dalam draf rancangan pasal 154 ayat (3) dengan bunyi: zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.

Pakar Tata Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, Sunny Ummul Firdaus, menilai ketentuan pukul rata zat adiktif ini menjadi klausul yang perlu diberikan penjelasan yang lebih komprehensif. Tujuannya agar tidak ada multitafsir yang kelak dapat memicu masalah lebih besar.

Sebab menurutnya jika dua kategori produk yaitu legal dan ilegal tersebut diperlakukan serupa, perlu ada penjelasan secara filosofis, empiris, dan yuridis karena dua kelompok produk ini memiliki aspek sosio kultural yang berbeda.  

“Saya memahami niat Kementerian Kesehatan dalam mendorong revisi RUU Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun Jika ada dua jenis produk yang kedudukannya di hadapan hukum berbeda namun diperlakukan dengan sama, maka harus dapat jelaskan apa original intent atau maksud yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Sehingga tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945 serta memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat,” papar Sunny.

Ia juga mempertanyakan apa maksud dari ketentuan penyamarataan ini di dalam revisi RUU Kesehatan. “Apakah jika RUU Kesehatan terbit dengan ketentuan tersebut, dapat ditafsirkan jika masyarakat dapat memilih mau konsumsi rokok atau alkohol yang dianggap ilegal? Atau sebaliknya, narkotika dan psikotropika yang bisa dikonsumsi secara legal?”

Sunny turut menekankan revisi regulasi harus dikonstruksi secara jelas dan tegas agar tidak menimbulkan masalah baru. Selain itu, Sunny juga mengingatkan ketentuan penyusunan regulasi nasional secara prosedural harus mengacu UU 12/2011 yang diperbaharui dalam UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan apa dampak yang akan muncul dari klausul zat adiktif tersebut jika disetujui,” sambung Sunny.

Sebagai catatan, revisi RUU Omnibus Law Kesehatan ini akan mencabut dan/atau mengubah sembilan undang-undang. Kesembilannya adalah UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Kebidanan. Omnibus Law Kesehatan juga mengubah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Pendidikan Tinggi.