<p>Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. /  Facebook @KemnakerRI</p>
Ekonomi, Fintech & UMKM

SE Menaker: THR Lebaran 2020 Bisa Dinego

  • Dalam SE Menaker Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 menyatakan perusahaan harus membayar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan meski bisa dilakukan dialog jika perusahaan tidak mampu membayar pada waktu yang ditentukan.

Ekonomi, Fintech & UMKM
Sukirno

Sukirno

Author

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah telah merilis surat edaran (SE) tentang tunjangan hari raya (THR) Lebaran tahun 2020.

Dalam SE Menaker Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 menyatakan perusahaan harus membayar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan meski bisa dilakukan dialog jika perusahaan tidak mampu membayar pada waktu yang ditentukan.

“Memperhatikan kondisi perekonomian saat ini sebagai akibat Pandemi COVID-19 yang membawa dampak pada kelangsungan usaha dan mempertimbangkan kebutuhan pekerja/buruh akan pembayaran THR Keagamaan maka diperlukan kesamaan pemahaman antara pengusaha dan pekerja/buruh.” ujar Menaker dalam SE Menaker Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 yang sudah viral di beberapa media sosial.

SE tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi COVID-19 yang ditandatangani pada 6 Mei tersebut mengatakan perusahaan agar membayar THR keagamaan kepada pekerja/buruh sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Namun, ketika perusahaan tidak mampu membayar THR pada waktu yang ditentukan maka solusi atas permasalahan tersebut harus diperoleh melalui proses dialog kekeluargaan antara pengusaha dan pekerja.

Terkait hal tersebut, menurut SE itu, dalam dialog dapat menyepakati beberapa hal yaitu bila perusahaan tidak dapat membayar THR secara penuh pada waktu yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka pembayaran THR dapat dilakukan secara bertahap.

Poin kedua adalah bila perusahaan tidak mampu membayar sama sekali THR pada waktu yang ditentukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pembayaran THR dapat ditunda sampai dengan jangka waktu tertentu yang disepakati.

Poin ketiga dalam SE itu adalah soal waktu dan tata cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran THR keagamaan.

Kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, seperti tertulis di SE yang ditujukan untuk gubernur seluruh Indonesia itu, harus dilaporkan perusahaan kepada dinas yang terkait ketenagakerjaan.

“Kesepakatan mengenai waktu dan cara pembayaran THR Keagamaan dan denda, tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR Keagamaan dan denda kepada pekerja/buruh dengan besaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, serta dibayarkan pada tahun 2020,” tulis Menaker dalam SE itu.

Dalam SE itu juga pemerintah provinsi diminta untuk membentuk Posko THR Keagamaan Tahun 2020 dan menyampaikan pedoman itu kepada bupati dan wali kota.

Akan tetapi, hingga berita ini diturunkan, Kemnaker belum memberikan tanggapan terkait kebenaran SE yang dirilis Menaker Ida Fauziah tersebut.

Tanggapan ILO

Sementara itu, Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organisation/ILO) menghargai ketentuan dalam SE Menaker yang menekankan kewajiban perusahaan untuk memberikan THR kepada para tenaga kerja, meski memungkinkan dialog terkait pembayarannya.

“Kami tentu saja melihat ini memang kewenangan dari Kemenaker untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja bisa dipenuhi,” kata Senior Program Officer ILO Lusiani Julia melalui sambungan telepon kepada Antara di Jakarta.

Di tengah wabah COVID-19 yang telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan dan banyak perusahaan merugi, Menaker Ida Fauziyah mengeluarkan Surat Edaran (SE) bernomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi COVID-19.

Lusiani mengatakan dirinya bisa memaklumi bahwa surat edaran itu diupayakan untuk juga memberikan keringanan bagi dunia usaha yang terkena dampak wabah, terkait dengan pembayaran THR tersebut.

“Kami juga cukup menghargai bahwa di dalam SE tersebut disebutkan bahwa THR tetap harus wajib dibayarkan. Walaupun memang untuk metode pembayarannya pasti akan sangat tidak memuaskan untuk serikat pekerja karena pembayarannya diperbolehkan dengan cara bertahap,” katanya.

Hal tersebut, kata dia, sedikit bertentangan dengan peraturan pelaksanaan yang mensyaratkan pembayaran THR dua pekan sebelum Hari Raya.

“Tapi saya rasa, jika situasi memang sangat mendesak seperti ini, di mana perusahaan bisa membuktikan bahwa dia tidak mampu membayar, maka mungkin bisa saja ditempuh cara-cara berdasarkan kesepakatan bersama,” katanya.

Surat edaran tersebut, menurut dia, bisa dipahami sebagai upaya pemerintah untuk menjaga kedamaian hubungan industrial antara pengusaha, serikat pekerja dan pekerja/buruh.

“Tapi di satu sisi yang tetap kami ingin tekankan adalah tidak boleh ada pengurangan hal-hak pekerja tadi,” katanya. (SKO)