<p>Mitra Driver Grab Bike mengenakan sekat pembatas penumpang saat peresmian pengoperasian kembali ojek online (ojol) dalam mengangkut penumpang di Bekasi, Jawa Barat, Kamis, 9 Juli 2020. Grab Indonesia sebagai salah satu Platform penyedia layanan transportasi online menghadirkan GrabProtect dilengkapi dengan fitur keamanan, peralatan kebersihan, serta aturan keamanan terbaru yang menjadi standar terbaik dalam industri ride-hailing  untuk menghadapi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) di Kota Bekasi. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional

Tak Patuh Hukum, Pengamat Menilai Grab Terlalu Banyak &#8220;Drama&#8221;

  • KPPU yang memutuskan Grab Indonesia sebagai pihak Terlapor I dan PT TPI sebagai Terlapor II, terbukti bersalah melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan denda masing-masing sebesar Rp7,5 miliar dan Rp4 miliar, serta Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan denda masing-masing sebesar Rp22,5 miliar dan Rp15 miliar.

Nasional
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – PT Solusi Transportasi Indonesia (Grab Indonesia) beserta PT Teknologi Pengangkutan Indonesia (TPI) dinilai tak kooperatif terhadap proses persidangan perkara, terkait kasus usaha persaingan tidak sehat yang menjerat keduanya.

“Kasus hukum ini seharusnya tidak terlalu rumit jika selama sidang, para pembela perusahaan itu fokus pada substansi yang menjadi perkara,” ungkap Pengamat Hukum Persaingan Usaha Dhita Wiradiputra di Jakarta, Senin, 13 Juli 2020.

Menurutnya, semestinya pembela berupaya mematahkan dalil-dalil yang disampaikan investigator berdasarkan bukti atau fakta dari perusahaan. “Bukan sebaliknya, yang terjadi adalah banyak drama yang mempermasalahkan hal lain di luar perkara,” tambahnya.

Setelah mempelajari hasil putusan sidang, pengamat sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum (LKPU FH UI) ini mengaku sangat menyayangkan tindakan para pembela selama proses persidangan. Mereka, kata Dhita, seolah tidak fokus terhadap perkara yang dituduhkan sehingga menunjukkan ketidakmampuan dalam menghadapi permasalahan dengan baik.

Sementara itu, lanjutnya, Komisi Persaingan Usaha (KPPU) sendiri telah bekerja lebih baik. Saat ini, ujarnya, lembaga tersebut berperan objektif karena keberadaannya tidak lagi terlibat di dalam proses awal pemeriksaan, penyelidikan, hingga pemberkasan.

Selain itu, kata Dhita, kemunculan masalah ini tidak terjadi begitu saja. “Ada ketidakpuasan dari mitra driver non-TPI terkait order prioritas. Bahkan, mereka sudah melakukan demo di Medan dan DPRD setempat,” kata dia.

Tak Kooperatif

Dhita juga menegaskan, sebuah perlakuan lebih atau eksklusivitas dapat dibenarkan selama bersifat rasional secara ekonomi dan dapat dibuktikan. Namun, berdasarkan hasil putusan sidang, KPPU menilai Grab tidak kooperatif karena tidak hadir memenuhi panggilan sidang, serta tidak menyampaikan data yang diminta oleh Majelis Komisi.

Atas tindakan tersebut, Grab dituduh telah merendahkan pengadilan (contempt of court) karena dinilai merendahkan kewibawaan sekaligus tidak menghormati kedudukan Majelis Komisi.

“Termasuk pula melakukan character assassination terhadap KPPU sebagai satu-satunya lembaga negara yang diberi kewenangan menegakkan hukum persaingan usaha,” tegasnya.

Menurut Dhita, banyak pihak yang menanti hasil perkara ini. “Tidak sedikit orang yang menggantungkan hidupnya kepada perusahaan ini,” ujarnya.

Mengingat bahwa transportasi daring sudah menjadi suatu kebutuhan yang tidak dihindarkan, Shita berharap praktik persaingan usaha tidak sehat tak terulang kembali.

Denda Grab Indonesia

Diketahui, dalam salinan KPPU yang memutuskan Grab Indonesia sebagai pihak Terlapor I dan PT TPI sebagai Terlapor II, terbukti bersalah melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan denda masing-masing sebesar Rp7,5 miliar dan Rp4 miliar, serta Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan denda masing-masing sebesar Rp22,5 miliar dan Rp15 miliar.

Grab Indonesia dan PT TPI dinilai oleh majelis komisi terbukti melakukan perjanjian tertutup. Salah satunya berupa program loyalitas dan insentif yang lebih dinikmati oleh para pengemudi yang tergabung di bawah panji PT TPI dibandingkan pengemudi lain yang tidak bernaung di bawah perusahaan tersebut.

Adapun bentuk diskriminasi ini menurut majelis misalkan dalam hal order prioritas di mana Grab Indonesia dinilai mengutamakan para mitra PT TPI tanpa harus mengaktifkan fitur apapun. Diskriminasi lainnya adalah mobil dari mitra PT TPI yang terkena hukuman (suspend) bisa beroperasi meski pengemudinya masih terkena hukuman. Sementara untuk pengemudi yang tidak bernaung di bawah TPI, suspend dikenakan kepada pegemudi beserta mobilnya.

Majelis juga membeberkan fakta bahwa antara Grab Indonesia dan PT TPI terkait satu sama lain atau integrasi vertikal di mana terdapat pengurus atau pemegang saham yang sama dalam suatu masa tertentu. (SKO)