Ilustrasi Fintech Peer to Peer (P2P) Lending alias kredit online atau pinjaman online (pinjol) yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan ilegal. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Terbitkan Aturan Baru, OJK: Modal Awal Fintech Lending Minimal Rp25 Miliar

  • Dengan adanya POJK baru, penyelenggara fintech lending kini harus memiliki minimum modal disetor senilai Rp25 miliar saat mengajukan perizinan kepada OJK.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan aturan baru untuk industri fintech lending yang tertuang dalam POJK No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK LPBBTI/Fintech P2P Lending).

POJK ini merupakan penyempurnaan dari POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan, penyempurnaan ini diinisiasi untuk mengakomodasi perkembangan industri yang cepat dan lebih kontributif serta memberikan pengaturan yang optimal pada perlindungan konsumen.

Dalam POJK fintech lending terbaru ini terdapat beberapa substansi penyempurnaan pengaturan, salah satunya berkenaan dengan angka minimum untuk modal disetor saat pendirian.

Pada peraturan sebelumnya, minimal modal disetor saat penyelenggara mengajukan perizinan adalah senilai Rp2,5 miliar. Namun, dengan adanya POJK baru, penyelenggara fintech lending kini harus memiliki minimum modal disetor senilai Rp25 miliar saat mengajukan perizinan kepada OJK.

Penyelenggara juga diwajibkan setiap saatnya untuk memiliki ekuitas paling sedikit sebesar Rp12,5 miliar, dan batas maksimum pendanaan oleh setiap penyuntik dana dan afiliasinya paling banyak 25% dari posisi pendanaan pada akhir bulan.

Layanan fintech lending dapat dilakukan melalui pendanaan produktif dan multiguna, dan penyelenggara wajib memenuhi ketentuan atas maksimum manfaat ekonomi pendanaan.

Penyelenggara juga wajib menyampaikan data transaksi pendanaan kepada pusat data fintech lending OJK dengan pengintegrasian sistem elektronik.

Apabila sebelumnya penyelenggara fintech lending baru perlu melewati tahap terdaftar terlebih dahulu sebelum mengantongi izin, kali ini platform yang baru berdiri harus langsung melalui proses pengajuan izin sebelum bisa beroperasi.

Selain itu, penyelenggara fintech lending konvensional yang beralih menjadi penyedia layanan berdasarkan prinsip syariah pun harus memperoleh persetujuan dari OJK.

Kemudian, OJK juga mewajibkan pihak penyelenggara fintech lending untuk memiliki paling sedikit 1 pemegang saham pengendali (PSP), 2 anggota direksi,  1 orang anggota dewan komisaris, dan unit audit internal yang dijalankan oleh paling sedikit 1 orang sumber daya manusia (SDM).

Sementara itu, penyelenggara fintech lending syariah wajib memiliki paling sedikit satu anggota dewan pengawas syariah (DPS).

Calon pihak utama seperti PSP, direksi, dewan komisiaris, dan DPS wajib memperoleh persetujuan dari OJK sebelum menjalankan tindakan, tugas, dan fungsinya.

Untuk mendukung program pemerintah, penyelenggara bisa melakukan kerja sama dengan intansi untuk menjadi mitra distribusi atas surat berharga negara (SBN).