
Tren Lender di Fintech Lending: Masih Menarik di Tengah Ketidakpastian Ekonomi?
- Saat ini, populasi lender individu masih sekitar 2 juta orang dari lebih dari 185 juta penduduk dewasa di Indonesia.
Fintech
JAKARTA - Dalam industri fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman daring (Pindar), peran lender sangatlah krusial. Namun, dengan kondisi makroekonomi yang tidak menentu serta meningkatnya aksi panic selling di berbagai instrumen investasi, muncul pertanyaan apakah minat untuk menjadi lender di P2P Lending masih cukup tinggi.
Ketua Bidang Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah, mengungkapkan bahwa P2P Lending memiliki karakteristik unik dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya.
"Sumber dana dalam P2P Lending bisa berasal dari berbagai pihak, termasuk perbankan, institusi non-keuangan, dan lender individu," ujarnya dalam acara Buka Puasa Bersama Media di Jakarta, Selasa, 25 Maret 2025.
- Keluhan Ojol terkait BHR: Kecil dan Tidak Merata
- IHSG Kembali Terkoreksi, Ini Kata Pemerintah dan Ekonom
- Kekhawatiran Kembalinya Kekuatan Militer di Indonesia Bikin Investor Korea Resah
Dominasi Perbankan sebagai Lender
Dalam beberapa tahun terakhir, peran perbankan sebagai lender di P2P Lending mengalami peningkatan yang signifikan.
"Saat ini, sekitar 50% dana yang disalurkan ke borrower berasal dari perbankan. Padahal, pada tahun 2020, kontribusi perbankan hanya sekitar 28%," jelas Kuseryansyah. Menurutnya, keterlibatan perbankan menunjukkan peningkatan kredibilitas industri ini.
Namun, Kuseryansyah menekankan bahwa keunikan P2P Lending bukan hanya pada kemitraan dengan perbankan, tetapi juga dengan institusi non-keuangan yang dikenal sebagai "super lender".
Super lender ini biasanya merupakan perusahaan global yang memiliki kelebihan cash flow dan ingin melakukan ekspansi ke Indonesia. "Saat ini, kontribusi super lender mencapai sekitar 30%," tambahnya.
Baca Juga: Update Terbaru Fintech Lending Bermasalah: Crowde, Investree, iGrow, dan KoinP2P
Tantangan dan Peluang bagi Lender Individu
Selain perbankan dan institusi, lender individu juga memainkan peran penting. Namun, jumlah lender individu di Indonesia masih tergolong kecil.
"Saat ini, populasi lender individu masih sekitar 2 juta orang dari lebih dari 185 juta penduduk dewasa di Indonesia. Artinya, masih ada ruang pertumbuhan yang sangat besar," ungkap Kuseryansyah.
Meski demikian, lender individu menghadapi tantangan terkait pemahaman risiko. Menurut Kuseryansyah, penting bagi lender untuk memahami bahwa P2P Lending menawarkan return yang tinggi tetapi juga memiliki risiko yang tinggi.
"Jika borrower tidak membayar, lender bisa mengalami kerugian. Namun, ada opsi asuransi yang dapat menekan potensi kerugian," jelasnya.
- ACES hingga BBRI Paling Gagah di LQ45 Pagi Ini
- IHSG Hari Ini Turun 43,91 Poin ke 6.179,48
- Link Live Streaming Australia Vs Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026
Strategi Diversifikasi untuk Mengurangi Risiko
Untuk mengurangi risiko, lender individu disarankan untuk menerapkan strategi diversifikasi.
"Daripada menaruh seluruh dana ke satu borrower, lender bisa membaginya ke beberapa borrower. Misalnya, dari dana Rp10 juta, bisa dibagi ke 20 hingga 30 borrower dengan nominal kecil per borrower," kata Kuseryansyah.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa lender juga dapat menyebarkan dananya ke beberapa platform fintech lending untuk mengoptimalkan manajemen risiko. "Dengan perkembangan teknologi, proses registrasi dan investasi di berbagai platform menjadi lebih mudah dan praktis," tambahnya.
Industri P2P Lending masih tergolong muda, baru berusia sekitar delapan tahun di Indonesia. Namun, Kuseryansyah optimistis bahwa jumlah lender individu akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat tentang investasi di fintech lending.
Kuseryansyah mengakui bahwa selayaknya industri yang bergerak di jasa keuangan, dinamika tentunya akan terjadi. Dinamika itu bisa datang dari kondisi makroekonomi secara keseluruhan, dan tentu kasus fraud pun dapat berpengaruh.
Akan tetapi, ia menegaskan bahwa kasus fraud yang terjadi di sejumlah pelaku fintech P2P lending adalah kasus yang tidak lantas bisa menjadi dasar penilaian untuk industri secara keseluruhan. Kasus fraud bisa terjadi di mana saja, termasuk di lembaga jasa keuangan lainnya.
"Saat ini, jumlah lender individu mungkin naik turun tergantung dinamika industri, tetapi dalam jangka panjang, pertumbuhannya tetap menjanjikan," tegasnya.